CAMPAK seharusnya sudah tidak lagi menjadi masalah besar kesehatan masyarakat. Vaksin yang aman dan efektif telah tersedia selama puluhan tahun.
Namun, Kabupaten Sumenep di Madura baru saja menetapkan kejadian luar biasa (KLB) campak dengan lebih dari dua ribu kasus suspek dan 17 anak meninggal dunia.
Pertanyaan penting muncul, “bagaimana penyakit yang dapat dicegah ini masih merenggut nyawa?” Jawabannya mengarah pada krisis kepercayaan terhadap vaksin.
Secara medis, campak bukan hanya soal demam dan ruam. Virus ini memiliki angka reproduksi dasar 12-18, menjadikannya salah satu penyakit paling menular di dunia. Satu anak sakit dapat menularkan ke belasan orang lain dalam ruang yang sama.
Setelah masuk ke tubuh, virus campak tidak berhenti di kulit. Virus ini merusak sistem kekebalan, menciptakan fenomena yang dikenal sebagai immune amnesia.
Kekebalan yang sudah dibentuk terhadap penyakit lain hilang, membuat anak sangat rentan terhadap pneumonia, diare berat, dan infeksi telinga. Komplikasi inilah yang paling sering berujung pada kematian.
Pada sebagian kasus, campak juga dapat memicu ensefalitis akut, peradangan otak yang menyebabkan kejang, koma, hingga kematian.
Bertahun-tahun kemudian, sebagian anak dapat mengalami Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE), penyakit otak progresif yang sering berakibat fatal.
Dalam kondisi gizi buruk, risiko kematian pun ikut meningkat. Tidak mengherankan bila WHO masih mencatat lebih dari 100.000 kematian akibat campak setiap tahun di seluruh dunia, terutama pada anak-anak yang tidak divaksinasi.
Dengan kata lain, campak tetap berbahaya bila perlindungan vaksin diabaikan.
Ketika sains bertemu keyakinan
Mengapa anak-anak di Sumenep masih belum terlindungi? Masalah utamanya bukan ketersediaan vaksin, tetapi penerimaan masyarakat.
Madura adalah daerah dengan tradisi keagamaan yang sangat kuat. Pesantren dan kiai menjadi pusat otoritas moral. Keputusan vaksinasi sering kali bergantung pada legitimasi agama.
Sejak polemik vaksin MR pada 2018, ketika status halal haram dipersoalkan, keraguan terhadap imunisasi melekat di ruang sosial.
Meskipun Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa “boleh dengan alasan darurat”, stigma terlanjur terbentuk. Akibatnya, data KLB terbaru menunjukkan bahwa mayoritas anak yang meninggal belum pernah divaksin sama sekali.
Ini bukan masalah logistik atau teknis medis, tetapi kendala dalam membangun kepercayaan.
Sumenep bukan satu-satunya contoh. Di Nigeria, vaksinasi polio sempat diboikot karena isu keagamaan, menyebabkan wabah kembali merebak setelah hampir terkendali.
Di Pakistan dan Afghanistan, program vaksin polio berulang kali terganggu karena penolakan berbasis agama dan politik, sehingga anak-anak tetap lumpuh oleh penyakit yang seharusnya bisa dihapus dari dunia.
Polanya sama, ketika otoritas keagamaan tidak dilibatkan atau ketika komunikasi publik lemah, sains tidak cukup untuk melindungi masyarakat. Indonesia kini menghadapi pola serupa di Sumenep.
Pemerintah dihadapkan pada dilema menghormati keyakinan masyarakat atau menjalankan intervensi kesehatan berbasis data epidemiologi.
Menunda berarti membiarkan risiko kematian meningkat. Namun, melangkah tanpa legitimasi sosial berarti berhadapan dengan penolakan yang bisa meluas.
Jawaban tidak bisa dengan memilih salah satu. Jalan keluarnya adalah membangun jembatan antara sains dan keyakinan.
KLB campak di Sumenep harus menjadi momentum untuk memperbaiki strategi imunisasi nasional.
Pertama, melibatkan ulama dan pesantren sejak tahap awal program, bukan setelah penolakan muncul.
Kedua, menggunakan narasi keagamaan bahwa imunisasi adalah bagian dari menjaga kehidupan (hifz al-nafs) dan generasi (hifz al-nasl) sesuai maqasid syariah.
Ketiga, mempercepat sertifikasi halal agar keraguan tidak terus menjadi alasan.
Keempat, membangun komunikasi publik yang transparan dan konsisten, bukan sekadar kampanye teknis.
KLB campak di Sumenep menunjukkan bahwa kesehatan publik tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan vaksin, tetapi juga oleh kepercayaan masyarakat terhadap otoritas yang mereka ikuti.
Anak-anak yang meninggal bukan semata korban virus, melainkan korban patahnya jembatan antara sains dan keyakinan.
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki tanggung jawab ganda, melindungi nyawa sekaligus menghormati keyakinan.
Bila mampu menjawab tantangan ini, Indonesia tidak hanya menyelamatkan warganya, tetapi juga memberi pelajaran berharga bagi dunia tentang bagaimana menghadapi vaccine hesitancy berbasis agama dengan pendekatan yang komperhensif.
Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2025/08/28/07462831/klb-campak-di-sumenep-dan-krisis-kepercayaan-vaksin?page=all#google_vignette
Tidak ada komentar:
Posting Komentar